KABARDAERAH.OR.ID, BENGKAYANG KALBAR || Aktivitas Penambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah Bengkayang, Kalimantan Barat, semakin merajalela, mengakibatkan kerusakan hutan yang semakin meluas. Para cukong penambang ilegal yang beroperasi di kawasan ini menggunakan lahan perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) sebagai tameng untuk melindungi aktivitas mereka. Akibatnya, hutan-hutan di wilayah Bengkayang dan sekitarnya kian gundul, merusak ekosistem dan membahayakan kehidupan masyarakat sekitar.
Hasil investigasi tim gabungan dari media dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang turun ke lapangan, menyebutkan bahwa kerusakan hutan paling parah terjadi di wilayah Lasen dan Gua Boma. Para cukong penambang, yang disebut-sebut memiliki dukungan dari oknum aparat penegak hukum (APH), bebas melanjutkan penambangan tanpa khawatir akan sanksi. Beberapa pelaku utama, seperti EA, IM, dan Long JN, disebut-sebut terlibat langsung dalam aktivitas merusak hutan tersebut.
Salah satu aktivis lingkungan yang ikut dalam investigasi, Purnomo, S.H., M.H., mengungkapkan bahwa hutan di Bengkayang tidak hanya menghadapi ancaman penebangan liar, tetapi juga penggundulan akibat eksploitasi tambang ilegal. “Aktivitas PETI ini menghancurkan ekosistem hutan, mencemari sungai-sungai dengan merkuri, dan memperparah kerusakan lingkungan yang dampaknya sangat serius terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya,” tegas Purnomo.
Kerusakan hutan yang terus meluas ini bukan hanya mengancam kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya, tetapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Masyarakat setempat mengeluhkan pencemaran sungai, tanah longsor, hingga ancaman banjir bandang yang kian sering terjadi akibat hutan yang tidak lagi mampu menahan air hujan.
Selain merusak lingkungan, aktivitas PETI di Bengkayang juga berdampak pada kerugian negara. Dengan tidak adanya izin resmi, hasil tambang yang diambil dari wilayah tersebut tidak tercatat dan tidak memberikan kontribusi kepada pendapatan negara, sementara kerusakan yang ditimbulkan justru harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah.
Meski Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur sanksi tegas bagi pelaku penambangan ilegal, yaitu pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp 100 miliar, kenyataannya hukum tersebut belum mampu menindak tegas para pelaku PETI di Bengkayang. Keterlibatan oknum-oknum yang melindungi kegiatan ini semakin menyulitkan penegakan hukum di lapangan.
Masyarakat setempat bersama para aktivis lingkungan mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas terhadap para cukong PETI dan menghentikan kerusakan lingkungan yang sudah semakin parah. Mereka juga meminta agar lahan-lahan dengan HGU yang dimanfaatkan untuk penambangan ilegal segera dievaluasi dan dikembalikan fungsinya sebagai kawasan hutan yang dilindungi.
“Jika tidak ada tindakan tegas, kita akan kehilangan lebih banyak hutan, dan kerusakan ini akan berdampak panjang bagi generasi mendatang,” tegas Purnomo.
Hingga kini, harapan masyarakat dan aktivis agar ada langkah nyata dari pihak berwenang dalam menghentikan aktivitas PETI di Bengkayang masih menggantung, sementara hutan-hutan yang dulunya hijau kini semakin gundul, tergerus oleh penambangan liar yang semakin tak terkendali.
( Red )
Sumber : Tim Gabungan Mata Elang Awak Media dan LSM Serta Aktivis Penyelamat Lingkungan.
Eksplorasi konten lain dari Kabar Daerah
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.